💫
“Katanya mau mati, kenapa malah memikirkan jajanan kaki lima? Apa benar kau ingin mati?
Buku ini aku temukan di rak buku milik temanku. Sebelumnya buku
ini udah sering aku lihat di instagram @penerbitharu tapi aku kurang tertarik
waktu itu. Aku kira isinya ini seperti novel biasa, fiksi. Tapi, ternyata beda,
isinya adalah percakapan antara psikiater dengan pasien penderita persistent depressive disorder (distimia).
I Want to Die but I Want To Eat Tteokpokki ditulis oleh Baek
Se Hee, seorang wanita kelahiran tahun 1990 yang lulus dari jurusan sastra dan
bekerja di salah satu penerbit. Selama 10 tahun mengalami depresi ringan
berkepanjangan (distimia) dan gangguan kecemasan.
Buku yang mendapat predikat best seller di Korea Selatan ini
memang harus aku acungi jempol. Banyak banget istilah psikiatri yang bisa
menambah wawasan.
Alhamdulillah aku bacanya bukan dalam keadaan lelah, kalau
dalam keadaan lelah mungkin aku udah abis 1 bungkus tisu.
Tentunya, setelah baca ini aku pengen ngomong ‘I’m not alone’.
Apa itu
Distimia?
Teman-teman tahu depresi, kan? Mungkin kalian pernah
merasakan beberapa gejala darinya. Depresi adalah gangguan mood yang
menyebabkan perasaan depresif dan kehilangan kesenangan secara persisten. Keluhan
ini perlu dirasakan dalam durasi waktu lebih dari dua minggu dan mengganggu
aktivitas sehari-hari. Lalu dapat terjadi penurunan berat badan, aktivitas
pikiran yang melambat, kehilangan energi, merasa tidak berharga, atau bahkan
ide untuk mengakhiri hidup.
Nah, distimia ini merupakan bentuk kronis (jangka panjang)
dari depresi. Aku akan berbagi cara berpikir pengidap depresi dan distimia yang
ditulis oleh dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ
1.
Black and White Thinking
Seseorang akan melihat sesuatu sebagai 100%
hitam dan 100% putih, tidak ada warna lain.
2.
Overgeneralization
Artinya seseorang pengidap depresi dan
distimia sangat mudah menggeneralisasi keadaan. Seperti keadaan buruk yang
dianggap mewakili keseluruhan hidup.
3.
Personalization
Seseorang akan merasa bahwa semua kejadian
adalah kesalahannya. Bahkan hal spele pun. Mereka menganggap bahwa kegagalan,
teman yang menjauh, bahkan bencana pun adalah kesalahannya.
4.
Fortune telling
Seseorang menganggap bahwa masa depan yang
akan datang sangat buruk bagi mereka. Mereka membayangkan sesuatu yang
merendahkan diri, seperti nanti di masa depan saya bukan siapa-siapa.
5.
Mind reading
Nah, keadaan ini pasti pernah teman-teman
alami. Seseorang seolah-seolah memahami pikiran orang lain. Terkadang mengartikan
sebagai sesuatu yang buruk. Mereka akan menganggap bahwa perkataan seseorang
merendahkan dan menghina bagi mereka.
6.
Emotional reasoning
Dalam keadaan ini, emosi atau perasaan
lebih dominan untuk menjadi landasan berpikir. Ketika seseorang merasa
diabaikan maka “kamu pasti menolak dan mengabaikan saya.”
7.
Disqualifying the positive
Pokoknya semua yang terjadi adalah hal
buruk. Bahkan saat peristiwa positif pun seseorang selalu menganggap hal buruk
akan tiba sebentar lagi. Artinya mereka selalu mengartikan dengan sudut pandang
negatif setiap peristiwa yang terjadi .
“Rasa percaya diri yang rendah mungkin dimulai dari lingkungan keluarga saya.”
Sejak kecil penulis hidup dalam perkataan
ibu yang selalu bilang “keluarga kita ini miskin.” dan ia tumbuh besar sambil
terus mendengar perkataan itu. Penulis pun sering melihat ayahnya memukul
ibunya dan saudara-saudaranya.
Aku rasa mungkin itulah beberapa faktor
yang akan membentuk kepribadiannya setelah beranjak dewasa.
Selama membaca, yang aku sering tangkap
adalah ketidak percaya dirian sang penulis. Bagiku ini adalah poin utama dari
buku ini. Rasa bersalah yang terus menerus hadir hingga membuat dirinya tidak
pantas untuk melakukan segala sesuatu.
Aku tertarik dengan salah satu perkataan
penulis “Ternyata penyebab saya depresi kalau di rumah sendirian karena
saya melihat unggahan orang-orang di instagram.”
Jujur, kadang aku sendiri iri ketika melihat unggahan orang-orang di instagram. Bahkan perasaan yang tadinya bahagia pun bisa berubah drastis ketika aku membuka instagram dan melihat unggahan di sana. Padahal aku sering mendengar bahwa itu adalah sesuatu yang maya. Suatu kebahagiaan yang diunggah seseorang belum tentu kenyataannya ia bahagia. Karena terkadang manusia pun menampakkan yang tidak sebenarnya ia rasakan.
“Sebenarnya tidak ada seorang pun yang meremehkan saya. Sayalah yang paling meremehkan diri saya sendiri.”
Sebaris kalimat dari penulis di atas benar-benar membuat aku berpikir. Perkataan orang di sekitar seolah-seolah menyerangku. Kalau dipikir-pikir karena di pikiranku ada premis bahwa mereka mengabaikan dan merendahkan aku. Padahal setelah dipikir kembali akulah yang paling meremehkan diri sendiri.“kita semua memiliki beberapa bagian yang berbeda dalam diri kita. Perbedaan yang kita miliki sebaiknya bukan menjadi alasan bagi kita untuk berpikir apakah kita harus melanjutkan atau mengakhiri hubungan dengan seseorang.”
Itulah yang diharapkan penulis agar
orang-orang yang mengalami keretakan dalam hubungan gara-gara merasa diremehkan
dan diabaikan paham bahwa setiap orang pasti memiliki perbedaan. Kita bisa saja
membiarkan hal itu lewat begitu saja agar hubungan tidak tegang. Perbedaan itu
janganlah menjadi alasan dari keretakan hubungan.
Ada beberapa dialog yang mengajariku
mengenai kepribadian histrionik. Psikiater bilang bahwa penulis memiliki
kecenderungan bahwa kemana pun dia pergi, dia harus menjadi pemeran utama atau
pusat perhatian di sana.
Seperti yang sudah aku jelaskan di atas
bahwa penulis merupakan orang yang tidak memiliki kepercayaan diri, sehingga ia
berpikir bahwa penampilan yang dilihat orang lain adalah penting. Bahkan ketika
orang-orang melihat wajahnya, ia berpikir ini merupakan serangan baginya. Penulis
tidak menyukai wajahnya hingga pernah berpikir untuk melakukan operasi pada
wajah.
Hal ini membuat dirinya depresi dan selalu
melihat bahwa wajahnya ini sangat jelek. Ditambah ketika akan berfoto bersama,
seseorang mengatakan bahwa dirinya tidak cocok untuk difoto karena akan membuat
foto itu tampak aneh. Akhirnya ia pun menyalahkan wajahnya yang jelek.
Bukankah kejadian tersebut pernah ada di
sekitar kita? Ketika seseorang yang tidak hidup dengan standar yang berlaku di
masyarakat maka orang itu akan direndahkan bahkan dikucilkan.
“Aku terus berpikir apakah dengan menjadi langsing apa berarti aku menjadi lebih sehat sehingga menurunkan berat badanku adalah hal yang baik?”
Seseorang hidup dalam standar orang lain
karena mereka merasa tidak percaya dan takut diperlakukan berbeda di
masyarakat. Menurut aku ini masalah. Mereka tentu tidak ingin jelek, kurus,
gemuk, namun inilah jalan mereka. Mengapa kita harus membuat standar itu? Bukankah
ini hanya membuat mereka tertekan bahkan depresi? Maka tak jarang mereka yang
merasakan itu mengakhiri hidupnya.
“Sebenarnya kondisiku tidak sesulit itu,
tapi aku hanya melebih-lebihkannya. Namun saya merasa tidak adil dan rasanya
ingin membuktikan bahwa kondisi saya sangat parah.”
Kita perlu menghargai orang-orang yang
sedang sedih hatinya. Karena kata “Lebay”, “Lemah” justru membuat mereka
membenci dirinya. Bukankah menyakitkan ketika kita curhat sambil
menangis-nangis dan orang tersebut hanya berkata bahwa kita terlalu
membesar-besarkan masalah?
Namun, di lain sisi memang yang dikatakan
penulis itu benar bahwa kondisi tidak sesulit yang kita bayangkan. Kitalah yang
melebih-lebihkannya. Semua pasti sudah sesuai porsinya. Masalah yang datang
pada masing-masing orang sudah ditentukan oleh Sang Pencipta. Kadang ada waktu
kita hanya cukup menjalaninya dan membiarkan mengalir pada tempatnya. Toh, itu
akan berlalu. Artinya, kita pasti akan melewatinya.
“Aku hanya ingin mencintai dan dicintai.”
“Aku harus belajar dan berusaha untuk menerima diriku apa adanya.”
Pada akhirnya, masalah yang membuat semua
kerumitan ini adalah rasa ‘tidak percaya diri.’ Buku ini membuat aku banyak
mengangguk tiap kali membaca penjelasan psikiater. Juga merasa bahwa apa yang penulis
rasakan sama sepeti yang aku rasakan. Tapi, aku tidak boleh self diagnosed dan
berpikir bahwa berarti aku ini distimia. Aku tidak berani mengatakan itu karena
aku belum pernah datang ke ahlinya.
Penulis mengajarkan aku bahwa rasa kecewa,
putus asa, bertahan hidup dalam kecemasan, bukanlah alasan untuk mengakhiri
hidup. Kita hanya butuh istirahat dan makan makanan yang kita suka seperti Baek
Se Hee yang merasakan ingin mengakhiri hidupnya namun hatinya berbisik ingin
makan tteokpokki.
Aku setuju dengan hidup itu rumit. Namun aku
bersyukur dengan kerumitan itu karena artinya aku masih diberikan kesempatan
untuk bernafas.
Bacaan ini aku tulis dari sudut pandangku. Mungkin
teman-teman ada yang kurang setuju dengan pendapatku karena tentu setiap orang
memiliki pendapat yang berbeda.
Aku memohon maaf bila ada kekeliruan dalam
menafsirkan, karena ini adalah artikel tersulit karena harus membaca banyak referensi dan takut
keliru saat menjelaskan.
Mari kita hidup menjadi diri kita apa adanya.
Mari kita belajar mencintai diri kita.
*quotes yang diperbesar hurufnya adalah kalimat yang ada dalam buku.
Baca juga:
Komentar
Terharu