-Soe Hok Gie
Kata-kata yang ditulisnya selalu menggetarkan dan menginspirasi siapa saja yang membaca. Tajamnya kalimat yang dilontarkan, membuat ikhlas pena menulisnya. Pemuda yang mati di usia muda, tapi semangat perjuangannya bagai hidup selamanya. Pemuda yang aktif dalam pergerakan mahasiswa 1966, bukan pemimpin organisasi, bukan pemimpin partai, tapi namanya senantiasa berkibar.
Mari kita mengenal sosoknya lebih jauh lewat tulisan ini. Keturunan Tionghoa yang cintanya teramat sangat pada negeri ini. Dia adalah Soe Hok Gie, mahasiswa Universitas Indonesia Jurusan Sejarah yang amat cerdas dan berkarakter tinggi.
Gie lahir pada 17 Desember 1942 di Jakarta dan wafat pada 16 Desember 1969 di Gunung Semeru, Jawa Timur, sehari sebelum hari ulang tahunnya.
Kritik dan Pergerakan
Soe Hok Gie remaja hidup saat situasi sosial dan politik Indonesia sedang panas. Sifat kritis dan cerdasnya telah tertanam sejak ia kecil.
Saat duduk di bangku SMP, Gie pernah mengoreksi kesalahan gurunya ketika menyebut tokoh Chairil Anwar sebagai pengarang prosa ‘Pulanglah Dia si Anak Hilang’. Padahal prosa tersebut bukanlah karya Chairil Anwar, melainkan karya Andre Gide, Pengarang Perancis. Chairil Anwar hanya menerjemahkan prosa tersebut ke dalam bahasa Indonesia.
Bukannya menerima kritikan, sang
guru ternyata marah akan sikap Gie yang tak sopan itu.
Gie sering mengkritik siapapun
yang berbuat tak sesuai dengan aturan, terlebih kepada penguasa saat itu,
Soekarno dan tokoh politik lainnya. Ia muak akan kesenjangan ekonomi yang
tinggi antara penguasa dengan rakyat. Para tokoh politik seakan-akan lupa
dengan perjuangan mereka dahulu dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.
Pada Desember 1959, Gie pernah
melihat seseorang yang kelaparan sedang memakan kulit mangga yang diambil dari
tempat sampah. Siapa yang tidak pilu melihatnya. Gie lekas memberikan semua
uang jajannya agar orang tersebut tidak makan kulit mangga untuk mengganjal rasa laparnya. Padahal istana
negara tak jauh dari tempatnya, kira-kira dua kilometer. Ia geram dan marah.
Soe Hok Gie Adalah Sosok yang Unik. Mengapa Demikian?
Gie memang aktivis, tapi sebenarnya
ia tak terlalu menyukai organisasi massa di luar kampus. Namun, hebatnya adalah
ia bisa akrab dengan siapapun sehingga memiliki akses ke HMI, PMKRI, pimpinan
KAMI, bahkan ia berkesempatan bertemu dengan Rektor UI.
Soe Hok Gie menyukai sastra. Hobi
menulisnya ia manfaatkan untuk menyuarakan kegelisahan akan situasi Indonesia
yang terbilang kacau saat itu. Goretan pena yang menghasilkan puisi dan kritikan
tajam dengan bahasa yang simpel dan populer membuat siapapun langsung paham apa
yang ingin Gie sampaikan. Gie muak dengan pemimpin yang korupsi, mahasiswa
munafik, dan tokoh-tokoh yang silau akan kekayaan serta jabatan sehingga abai
pada tugas utamanya untuk menyuarakan kepentingan rakyat.
Ide Gie, Out of The Box
Salah satu hal lucu nan unik yaitu aksi Gie saat memotori demonstrasi mahasiswa pada Januari 1966. Gie bersama rombongan mahasiswa sastra dan psikologi berangkat menuju Stasiun Gambir kemudian menempelkan pamflet serta poster di gerbong-gerbong kereta yang berisikan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat). Tritura adalah tiga tuntutan untuk pemerintah agar membubarkan Partai Komunis Indonesia dan ormas-ormasnya, merombak kabinet Dwikora, dan menurunkan harga kebutuhan pokok.
Ketiadaan internet dan sosial
media tak menurunkan semangat Gie untuk menyuarakan aspirasi mahasiswa.
Penempelan pamflet dan poster adalah ide brilian agar suara mahasiswa bisa
dibawa oleh kereta-kereta yang saat itu akan berangkat ke Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Gie juga mengusulkan ide mengempiskan ban mobil milik anggota kabinet
Dwikora untuk mengacaukan mobilitas mereka. Masih banyak ide brilian Gie yang
seakan tak ada habisnya.
Surat-Surat Gie
Kegelisahan yang dirasakan Gie curahkan
pada tulisan. Gie tak hanya menulis soal kritikan saja, ia bahkan surat
menyurat dengan beberapa temannya seperti Ben Anderson, Daniel S. Lev, Herbert
Feith, Herman Lantang, dan Boediono.
Tulisan Gie seakan-akan
memancarkan jati dirinya, cerdas dan ceria. Ia sanggup berbicara panjang lebar
mengenai topik apapun. Bila kita mendengarnya bercerita maka kita pun akan ikut
terdiam demi menyimak apa yang dibicarakannya.
Dalam surat yang ia kirimkan pada teman-temannya, Gie tak ragu bercerita panjang lebar. Isinya lucu. Seperti salah satu surat yang dikirimkan kepada Nurmala Kartini Panjaitan. Gie menulis,
“....Maaf ya gue minta maaf dulu. Gue sih
mau nawarin lu tapi gimana. Ceritaya gini. Tadi jam setengah dua gua ngantuk
lalu gue tidur. Sekarang gue baru bangun tidur. Iseng jadi akhirnya gue beli es
kelapa/kacang ijo yang meyakinkan dekat rumah gue. Bibi gue suruh beli. Lu
bayangin aje lu lagi minum es yang meyakinkan itu. Buat meyakinkan lu, nih gue
taruh sedikit kacang hijauhnya. Sedaaaaaap....”
Pada beberapa temannya Gie
menulis surat untuk meluapkan kegelisahannya akan kondisi bangsa Indonesia. Ia sering
bercerita tentang situasi sosial dan politik yang terjadi. Misalnya saja ada
satu surat yang ditulis Gie kepada temannya, Lev, mengenai tentara/militer dan
partai-partai yang memanfaatkan mahasiswa demi kepentingan mereka.
Meski Soe Hok Gie mati muda,
tulisannya mampu menginspirasi para pemuda.
Referensi : TEMPO. (2016). Seri
Tempo: Gie dan Surat-Surat Yang Tersembunyi. Kepustakaan Populer
Gramedia.
Komentar
Jangan pernah berhenti belajar dari manapun yaa, semangat!!!